Sabtu, 02 November 2013

Mengenal Resistensi Bakteri Terhadap AntiBiotik

Kemoterapeutika yang digunakan pada penyakit infeksi kuman ada kalanya tidak bekerja lagi terhadap kuman-kuman tertentu yang ternyata memilliki daya tahan kuat dan menunjukkan resistensi terhadap oabt tersebut. Bahaya resistensi ini adalah jelas pengobatan penyakit menjadi sangat sulit dan prosesnya menjadi lama, juga resiko timbulnya kompikasi dan kematian anak meningkat.

Dikenal tiga jenis resistensi bakteri, yaitu :

1.         Resistensi bawaan (primer), yang secara alaiah sudah terjadi pada kuman, miaslnya terdapat enzim penisilinase pada stafilokok yang merombak penisilin dari sefalosporidin. Ada pula bakteri yang didinng selnya tidak dapat ditembusi obat, misalnya basil tuberkolusa dan lepra.

2.         Resistensi yang diperoleh (skunder) adalah akibat kontak dari kuman dengan kemoterapeutika dan biasanya disebabkan oleh pembentukan secara spontan jenis baru dengan ciri yang berlainan. Mutan ini segera memperbanyak diri dan menjadi suku baru yang resisten. Terbentuknya mutan ada kalanya sepat, seperti dengan streptomisin, INH dan rifampisin (resistensi setingkat). Sebaliknya, pembentukannya dapat pula berlangsung lebih lambat, misalnya pada penisilin, eritromisin dan tetrasiklin (resistensi banyak tingkat).

Adaptasi merupakan cara lain untuk menjadi resisten, yakni bakteri menyesuaikan metabolismenya guna melawan efek obat. Misalnya, bakteri merubah pola enzimnya dan membentuk enzim khusus untuk menguraikan obat, penisilinase, asetilase (terhadap khloramfenikol), adenilase/fosforilase trhadap streptomisin, kanamisin dan neomisin. Dikenal pula kuman yang memperkuat dinding selnya, sehingga tidak peka lagi terhadap penisilin(kuman bentuk L)

3.         Resistensi episomal berkainan dengan kedua jenis diatas, pada tipe resistensi ini pembawa faktor genesis berada diluar kromosom (rangkaian pendukung sifat genetika). Faktor R (resistensi) ini disebut episom atau plasmid. Terdiri dari DNA dan dapat ditulari pada kuman lain dengan penggabungan atau kontak sel dengan sel. Penularan ini terjadi terutama didalam usus degnan jalan pengoperan gen. Transmisi tidak terbatas pada satu jenis kuman seja tetapi dapat terjadi antara pelbagai jenis, misalnya dari E. Coli dan enterocucci dalam usus dengan kuman patogen salmonella, kleibsella atau vibrio dan kebalikannya.

Telah diketahui bahwa dengna masuknya faktor R, daya memperbanyak diri bakteri sangat meningkat. Hal ini meresahkan karena dengan demikian resistensi dapat menjalar dengan pesat. Kini, faktor R dari banyak kuman rumah sakit sudah diisolir, yang berasal dari tinja dan air seni. Kuman-kuman ini resisten terhadap banyak kemoteraputika, termasuk ampisilin, kloramfenikol, tetrasiklin, aminoglikosida, sulfonamida, trimetoprim dan kelompok quinolon.

Ketergantungan (dependence) adalah peristiwa dimana pertumbuhan bakteri tergantung dari keberadaan dari antibiotik tertentu. Misalnya, penisilin, streptomisin, INH, dan kloramfenikol da[at digenakan oleh kuman sebagai zat pertumbuhan. Sifat ganjil ini bisa terjadi pada mutsi berikutnya dari suatu mutan yang telah menjadi resisten.

Resistensi silang (cross-resistance) adalah kejadian dimana kuman yang resisten terhadap suatu antibiotikum adalah resisten pula terhadap semua derivatnya, misalnya penisilin dengan ampisilin dan amoksisilin. Begitu juga terdapat resitensi silang antara misalnya turunan tetrasiklin, berbagai jenis sulfonamida, antara linkomisin dan klindamisin, juga antara rifampisin dan rifampisin.

Prevensi. Resistensi dapat dihindarkan dengan menggunakan pentukaran obat yang relatif tinggi (dibandingkan dosis efektif minimalnya) selama waktu yang agak singkat, terutama pada tuberkolusa, lepra dan kanker. Akhirnya pembatasan penggunaan antibiotika dengan aktivitas terhadap kuman-kuman berbahya hanya untuk penyakit parah dan tidak untuk membasmi kuman biasa, seperti pada sakit tenggorok atau radang telinga.

Antibiotika dalam makanan hewan sering digunakan untuk menstimulir pertumbuhannya dan sudah lazim dikebnyakan negara barat. Praktek ini sudah lama dilarang secara hukum, karena kekhawatiran berkembangnya kuman-kuman yang resisten pada hewan. Selain itu, residu antibiotika dapat tertinggal didagingnya yang dapat dimakan oleh manusia. Sebagai contoh adalah vancomisin, yaitu suatu antibiotikum yang sudah sejak lama sekali dianggap sebagai obat penolong terakhir (last resort drug), yang masih ampuh bila antibiotik lain tidak berefek lagi akibat resistensi. Di AS vancomisin, disamping hormon, banyak digunakan dalam makanan hewan dan kini sudah banyak dilaporkan resistensi pada manusia terhadap obat ini. Sebaliknya, guna mengurangi resiko penularan rsistensi kepada manusia, sebagai gantinya di eropa banyak diganti “derivat hewan”  yaitu : avoparacine dalam jumlah besar, dan resistensi terhadap vancomisin praktis tidak disinyalir. Namun, sejak 1997 avoparacine uga dilarang di eropa.

Namun para pembela mengguanakan antibiotika didalam “animal food” berpendapat bahwa belum ada cukup bukti ilmiah mengenai kemungkinan transmisi resistensi terhadap antibiotika dari hewan kemanusia. Malah dikemukakan adanya indikasi kuat bahwa penggunaannya telah mengurangi penyebaran kuman patogen salmonella. Kuman ini setiap tahun mengakibatkan banyak kematian diseluruh dunia pada lanisa dan orang dengan sistem imun lemah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar